Minggu, 11 Maret 2018

Flashback

"Dan bilamana kata adalah doa, tak semua doa terucap digenapi" - Deadsquad

Potongan lirik unit Death Metal berbahaya asal ibukota ini memang ada benarnya. Setiap kata yang kita ucapkan adalah doa yang tanpa sengaja kita daraskan untuk kemudian diserap oleh alam semesta dan disampaikan pada Sang Hyang Widhi. Sedari kecil mungkin banyak dari kita yang dibiasakan oleh orang tua kita untuk berharap segala sesuatu yang terbaik, bahkan cenderung menerima hukuman apabila kita menyumpahi orang lain dan berharap kemalangan datang padanya. Ya, lidah memang lebih tajam daripada pedang.

Ngomong ngomong soal kata adalah doa ada satu hal yang begitu membekas di hati tentangnya. Flashback ke masa masa kuliah semester 2 saat pelatihan LKMM pra-TD di kampus sebagai peserta kami diminta menulis harapan kami 5 tahun ke depan. Dasarnya anak berotak agak geser dengan santai aku tuliskan:

1. Lulus kuliah IPK 4,5
2. Keterima kerja sebelum lulus
3. Nikah sama cewek cantik 

Kaya main main gitu ya? Tapi balik lagi, semain main apapun kata adalah doa. Beberapa tahun setelah kalimat kalimat konyol itu aku tulis ternyata semesta memanifestasikannya dalam wujud nyata. Meskipun bisa dibilang aku kuliah dengan prestasi yang bisa dibilang biasa saja bahkan cenderung flip flop pada akhir masa kuliah di balik ijazahku terselip selembar kertas bertuliskan "summa cum laude". Untuk poin 2 pun aku melalui hal yang agak gimana gitu, semingguan setelah sidang akhir aku mbolang ke tanah Pasundan untuk mencoba peruntunganku yang terpanggil untuk seleksi masuk di maskapai penerbangan terbesar se Asia Tenggara. Seperti yang kutulis beberapa tahun lalu, aku pun berhasil mewujudkannya.

Khususon untuk poin ke 3 yang kutuliskan waktu itu aku akan menguraikannya tersendiri. Aku saat itu sedang menjalin hubungan dengan rekan seangkatanku kuliah. Bisa dibilang aku berelasi dengannya tidak terlalu sepenuh hati setelah aku mengalami pengkhianatan dari seseorang yang saat itu masih berelasi denganku dan seseorang yang kuanggap rekanku sendiri. Pahit memang jika kita susah susah setengah mati berusaha menjaga perasaan orang yang kita sayang tapi di belakang kita orang yang kita jaga perasaannya justru mengabaikan usaha kita dengan berbagai macam pembenaran.

Aku menjalin relasi dengan rekan seangkatanku selama kurang lebih 2 tahun. Yep, ini rekor terlamaku menjalin relasi. Memang dari luar terlihat lama tetapi di dalamnya aku tersiksa. Istilah kerennya sih toxic relationshit. Tak jarang kami berselisih paham karena hal yang sangat sepele. Yang terparah adalah ia tak bisa menghormati keberadaan kedua orangtuaku. Saat aku terpontang panting merawat ibuku yang baru saja menyelesaikan operasinya dia malah enak enakan hangout sama pria yang sudah jelas jelas pernah menyatakan ketertarikan padanya. Satu sifatku, jika aku sudah benar benar merasa terganggu dan marah aku akan diam (jadi jika aku masih terlihat misuh misuh ga jelas maka aku belum sepenuhnya marah ✌🏻). Aku benar benar mendiamkannya hingga 3 hari, tanpa menggubrisnya yang berusaha menghubungiku. Hingga pada suatu petang ia mendatangi kosku dengan tangisannya memohon agar aku menerimanya lagi. Ya itu hanyalah salah satu lika liku yang pernah kulalui bersamanya.

Terlalu banyak perbedaan di antara kami, mulai budaya, latar belakang keluarga, hingga keyakinan (aku yakin kalo aku guaaanteng puoool sementara dia enggak yakin 🤣 JK). Singkat cerita aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri relasi dengannya karena sifatnya yang tak bisa menghormati orangtua dan prinsipku. Selama 2 tahun sisa masa kuliah kuhabiskan untuk mengejar ketertinggalan akademisku yang sempat terjun bebas. Sama sekali aku mengabaikan urusan hati meskipun beberapa wanita sempat dekat denganku, tapi aku merasa belum saatnya aku membuka hatiku untuk menuliskan lembaran cerita baru. Bahkan saat aku bekerja di maskapai yang menerimaku itu tidak ada satu wanitapun yang berhasil membuatku luluh. Tahu sendiri kan, sebenarnya kalau mau pun aku bisa saja mendekati pramugari yang ga usah dipertanyakan seperti apa penampilannya. Selain itu aku tak ingin jatuh di kesalahan yang sama, sehingga aku membuat "perjanjian kecil" dengan Tuhan bahwa jika pasanganku selanjutnya menyebut nama Tuhan sama denganku maka aku akan benar benar menjadikannya yang terakhir buatku.

Hingga datanglah hari itu, seorang wanita cantik yang komen tepat diatas komenku yang sedang ngisengin teman sekelasku kuliah dulu. Shit, mata teduh itu... 
Sempat terbersit rasa minder itu, karena meskipun kami menyebut nama Tuhan dengan nama yang sama awalnya aku melihat perbedaan ras yang kentara antara kita. Tapi entah kenapa di hati kecilku aku yakin dia adalah yang terakhir buatku. Dialah yang akan menggenapi list iseng yang pernah kutulis. Entah kenapa meskipun belum pernah bertemu secara fisik aku sudah mulai merasakan bahwa aku menyukainya. Stefani... ya, nama itu yang berputar di otakku sejak aku terbius tatapan dari mata teduh itu.

Ya, jujur saja aku bukan tipe tipe cassanova yang dengan mudahnya mendekati dan bergelimang wanita. Aku bingung harus memulai dari mana, karena respon yang dia berikan padaku tidak terlalu positif pada awalnya. Aku cukup sadar diri, siapa sih aku ini, bahkan aku juga sempat minder saat tahu bahwa mantannya berpenampilan alala boyband sementara aku berpenampilan selengekan dengan brewok dan jenggot yang panjang. Aku selalu bingung bagaimana cara yang tepat memulai obrolan dengannya, bahkan aku sampai pada taraf dimana melihat display picturenya pun sudah memberikan rasa nyaman. 

Ternyata takdir berbicara lain. Kami saling memberi kenyamanan satu sama lain hingga kami saling menambatkan hati satu sama lain. Dia sukses meluluhkan hatiku yang 3 tahun kosong dan nyaris mati rasa. Bahkan orangtuaku pun yang selalu menganggap wanita yang kubawa ke rumah sebagai temanku mulai menganggap dia sebagai anak wanitanya. Awalnya aku pesimis duluan sama namanya pernikahan tapi sekarang aku sadar ada satu nama yang akan aku perjuangkan hingga akhir hayatku, wanita yang akan memenuhi coretan no 3 ku, yang dikirim oleh Sang Hyang Widhi di saat yang sama sekali tak terduga. Wanita itu adalah wanitaku, Stefani Wulan Sakti Handayani 


MS-IV
12 Maret 2018
00:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar