Surabaya, rumah keduaku. Di tengah bulan ramadhan kaya sekarang agak cultural shock juga sih setelah 1,5 taun hidup di luar jawa dengan nuansa muslim yang lumayan kental, cuma lapo BPK yang buka siang (damn i miss this food so much 🐖). Di sana bener bener kerasa suasana puasanya, kalo siang sepi binggo, ga kayak di sini yang mau puasa atau enggak sama aja. Mungkin flasback beberapa tahun belakangan kita inget sering ada kasus sweeping warung makan yang dilakuin sama beberapa ekor polisi moral berdaster putih ijo (yang pemimpin "besar" nya lagi ngumpet entah dimana dan selalu ngeles waktu dipanggil polisi...inget, mulutmu harimaumu beib... udah ah, atut dipersekosa...ehh... dipersekusi ✌🏻) atau bahkan satpol pp yang kudunya sebagai salah satu aparatur negara bisa mengayomi semua warga negara tanpa ngeliat latar belakangnya. Kalo polisi moral daster putih ijo atau satpol pp mau mikir sih harusnya justru bukanya warung makan atau minum jadi tantangan iman buat ngeliat seberapa kuat iman mereka ngadepi godaan. Semakin gede godaannya kan semakin gede pahala puasanya. Jangan kaya anak kecil yang ngegame pake cheat, simsalabim puasa lancar gegara warung pada tutup. Terus apakabar ibu hamil yang perlu asupan nutrisi buat debay nya, atau mbak mbak cakep yang lagi mens dan ga berpuasa? Belum lagi kami para tafeer lucknut ini, terutama kami para tafeer perantauan yang karena keterbatasan sarpras gabisa masak sendiri. Kekhawatiran itu seketika sirna saat berada di surabaya. Meskipun secara grammar arek arek suroboyo bisa dibilang kasar dengan cak cuk nya tapi kalo soal saling menghormati di bulan puasa mereka jagonya. Warung tetap buka seperti biasa. Bahkan tadi, sepulang gereja saat aku sarapan di warung soto ayam deket gereja ada ibu ibu berjilbab yang dengan selownya beli soto dibungkus. Atau saat sedang jalan jalan dengan mbak calon istri, banyak warung kopi tetap buka dengan pengunjung yang banyak jika dilihat dari banyaknya sepeda motor yang terparkir di depannya. Istilahnya sih "poso ga poso yo urusanmu cuk... nek poso yowes ta hormati nek ra kuat iman yowes mokel o kene cuk...!". Tak ada polisi moral disini. Adanya kebebasan ini justru membuat suasana puasa semakin damai, yang puasa menghormati yang tidak puasa, pun sebaliknya. Ini juga yang semakin membuatku jatuh cinta pada kota ini. Tak ada tempat bagi fanatisme dan radikalisme di sini. Kami saling hidup berdampingan tanpa melihat latar belakang kami. Sudah seharusnya Indonesia bisa seperti ini, karena surabaya layak menjadi mini-Indonesia untuk urusan toleransi. This is suroboyo cuk...!
Minggu, 11 Juni 2017
09.57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar